Hipokondria

Apakah anda sering merasa ketakutan menderita suatu penyakit serius? Atau setelah membaca suatu majalah tentang suatu penyakit anda sering merasakan bahwa anda menderita penyakit tersebut? Nah, kedua hal tersebut merupakan beberapa gejala dari hipokondria. Lantas apakah hipokondria itu? Mari kita cari tahu apa jawabannya ..” Gambaran Klinis Hypochondria Hypochondria adalah suatu gangguan somatoform dimana individu terpreokupasi ketakutan mengalami suatu penyakit serius yang menetap terlepas dari kepastian medis yang menyatakan sebaliknya. Individu yang di diagnosis menderita hipokondria akan disibukkan dengan rasa takut yang luar biasa, dimana dirinya merasa memiliki penyakit serius yang mendasarinya. Padahal tidak ada dasar organik yang bertanggung jawab sepenuhnya atas keluhan mereka yang membenarkan bahwa mereka memiliki penyakit serius. Namun ketakutan memiliki penyakit serius tersebut akan bertahan di pikiran mereka, meskipun tidak ada kepastian medis yang menemukan bukti dari keluhan yang mereka rasakan. Ketakutan ini dapat mengganggu kegiatan yang biasanya individu tersebut lakukan sehari-hari. Penderita hipokondria juga, tidak secara sadar berpura-pura akan simptom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa nyeri dan sakit. Tidak seperti gangguan konversi atau gangguan somatisasi, hipokondria tidak melibatkan disfungsi tubuh ekstrim atau gejala medis. Sebaliknya, orang dengan hipokondria salah menginterpretasikan atau melebih-lebihkan reaksi tubuh yang biasa, sehingga orang yang mengembangkan hipokondria sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli, pada simptom dan hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan. Meski prevalensi hipokondria masih belum diketahui, gangguan ini tampak sama umumnya diantara pria maupun wanita.

Gangguan hipokondria umumnya muncul pada masa dewasa awal, dan cenderung memiliki perjalanan yang kronis. Biasanya Paling sering bermula antara usia 20 dan 30 tahun, meski dapat muncul di usia berapapun. Penderita hipokondria akan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti denyut jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang tidak sering, setitik rasa sakit, sakit perut, sebagai keyakinan mereka. Padahal kecemasan akan simptom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik tersendiri-misalnya, keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan, mereka juga melihat kemungkinan untuk dapat mengobati penyakitnya sangat rendah dan melihat diri mereka lemah dan tidak dapat mentoleransi upaya fisik. Hal ini cenderung menciptakan lingkaran setan (vicious cycle). Selain itu, Penderita hipokondria akan menjadi marah saat dokter mengatakan bahwa ketakutan mereka sendirilah yang menyebabkan simptom-simptom fisik tersebut. Mereka sering “belanja dokter” dengan harapan bahwa seorang dokter yang kompeten dan simpatik akan memperhatikan mereka sebelum terlambat.

Diagnostik Hipokondria : 1. Orang tersebut terpaku pada ketakutan mengalami penyakit serius atau memiliki keyakinan bahwa orang tersebut memiliki penyakit yang serius. Orang tersebut menafsirkan sensasi tubuh atau tanda-tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya. 2. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis. 3. Keterpakuan tidak pada intensitas khayalan (orang tersebut mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran akan penampilan. 4. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan. 5. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atau lebih. 6. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lainnya.

Faktor-Faktor Penyebab Gangguan mempengaruhi seseorang untuk menderita hipokondria :

Faktor Psikososial

  1. a. Memiliki penyakit yang serius selama masa kanak-kanak 
  2. b. Memiliki riwayat keluarga hypochondriac 
  3. c. Pernah mengalami stres berat yang menyebabkan trauma (misalnya, kematian orang tua atau teman dekat) 
  4. d. Mengalami kekerasan fisik, seksual, trauma pada masa anak-anak 
  5. e. Mungkin terkait dengan gangguan kejiwaan lain, seperti kecemasan atau gangguan obsesif-kompulsif. 
  6. Dengan kata lain, hipokondriasis dapat mengembangkan dari suatu gangguan atau menjadi tanda dari salah satu gangguan lain 
  7. f. Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan sosial. Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu menderita sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam penyakit setiap kali menghadapi tantangan hidup. 
  8. g. Menyaksikan kekerasan di masa kanak-kanak 
  9. h. Rejected children 
  10. i. Orang-orang yang memiliki riwayat kekerasan fisik atau seksual lebih mungkin untuk mengalami gangguan Hipokondria. 


Namun, ini tidak berarti bahwa setiap orang dengan gangguan hipokondria memiliki riwayat penyalahgunaan.

Prevensi
a. Prevensi primer Pemberian informasi kepada individu bahwa gejala yang dialami bukan merupakan gejala dari penyakit serius yang sangat penting. Memberikan pengetahuan atau bukti-bukti yang nyata kepada individu secara berkala mengenai gejala yang dialami merupakan hal yang normal dan individu tidak perlu merasa khawatir.
b. Prevensi Sekunder Pendidikan mengenai hipokondria atau dikenal sebagai psychoeducation, merupakan jenis konseling yang dapat membantu individu dan keluarga untuk lebih memahami apa itu hipokondria, mengapa bisa mengalaminya dan bagaimana cara mengatasi ketakutan berkaitan dengan kesehatan tersebut.
c. Prevensi Tersier Obat-obatan, Obat antidepresan tertentu dapat membantu dalam mengobati hipokondria. Contohnya termasuk serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine (Prozac), fluvoxamine (Luvox) dan paroxetine (Paxil), dan antidepresan trisiklik seperti clomipramine (Anafranil) dan imipramine (Tofranil). Dokter mungkin meresepkan obat lain, terutama jika individu juga memiliki kondisi psikologis lain atau fisik.
Terapi Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral telah terbukti efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondrial (a.l. Barch,2000;Fernadez, Rodriguez & Fernandez, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa para pasien hipokondrial menunjukkan penyimpangan kognitif dengan menganggap masalah kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman (Smeets dkk.,2000). Terapi kognitif-behavioral dapat ditujukan untuk merestrukturisasi pemikiran pesimistik semacam itu. Selain itu, penanganan dapat mencakup beberapa strategi seperti mengarahkan perhatian selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien mencari kepastian medis bahwa ia tidak sakit. pengobatan yang relatif singkat (6-16 sesi) ini, di percaya dapat menghasilkan perubahan besar dalam gejala hipokondrial, serta tingkat kecemasan dan depresi. Ada juga beberapa bukti bahwa obat anti depresan tertentu (terutama SSRI) mungkin efektif dalam mengobati hipokondria.

Contoh Kasus 2 :

Robert, ahli radiologi berusia 38 tahun, baru saja pulang dari kunjungan selama 10 hari di sebuah pusat diagnostik terkenal dimana ia menjalani pengujian ekstensif untuk seluruh system pencernaannya. Evaluasi membuktikan tanda negatif untuk penyakit fisik apapun, namun bukannya merasa lega, radiolog itu tampak marah dan kecewa dengan penemuan tersebut. Radiolog itu telah merasa terganggu selama beberapa bulan dengan berbagai simptom fisik, yang digambarkannya sebagai simptom-simptom yang berupa nyeri perut ringan, terasa “penuh”, “isi perut yang bergemuruh”, dan perasaan akan “isi perut yang keras”. Ia menjadi yakin bahwa simptom-simptom ini disebabkan oleh kanker usus besar dan ia menjadi terbiasa untuk menguji sampel darahnya setiap minggu dan secara hati-hati memeriksakan perutnya akan “massa” yang didapat didalamnya saat terlentang di tempat tidur setiap beberapa hari sekali. Ia juga secara diam-diam melakukan penelitian X-ray pada dirinya sendiri diluar jam kantor. Ada sejarah getaran jantung yang tidak normal yang dideteksi pada saat usia 13 tahun dan adik laki-lakinya meninggal karena penyakit jantung bawaan di awal masa kanak-kanak. Saat evaluasi, getaran jantungnya terbukti tidak berbahaya, ia malah mulai khawatir bahwa ada sesuatu yang lupa diperiksa. Ia mengembangkan ketakutan tersebut benar-benar dapat dikesampingkan, hal itu tidak pernah benar-benar hilang. Sewaktu di sekolah kedokteran ia khawatir akan penyakit-penyakit yang ia pelajari di kelas patologi. Sejak lulus, ia sering kali memperhatikan kesehatannya dan memiliki pola khas: menyadari keberadaan symptom tertentu, menjadi terfokus pada kemungkinan arti dari simptomp tersebut, dan menjalani evaluasi fisik yang terbukti negatif. Keputusannya untuk mencari konsultasi psikiatrik diawalai oleh kejadian dengan anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun. Anaknya secara tidak sengaja berjalan didekatnya saat ia memeriksa perutnya dan bertanya, “sekarang apalagi menurutmu, Ayah?” ia menangis saat bercerita tentang kejadian itu, menggambarkan sebagian besar perasaan malu dan marah terhadap dirinya sendiri.

Apakah kalian ada yang mengalami seperti ini?

sumur : http://www.kaskus.co.id/thread/56961de0e0522784248b457c/hipokondria/

Artikel Terkait

Share this:

Newest Post
Disqus Comments